SATU BAHASA KU, BAHASA INDONESIA SATU, BANGSA INDONESIA”BANYAK SUKU BAHASA

Judul diatas merupakan penegasan atas SUMPAH PEMUDA bangsa Indonesia yang sudah di-Amin-i sejak 1928 lalu!!!

Sampai sekarang hal itu belum digugat secara legal oleh kaum intelektual , pakar, apalagi politisi.

Sayangnya, perbuatan tidak selaras dengan perkataan bahkan sumpah. Nyatanya, Pendidikan Nasional melalui label ’internasional’ berperilaku sebagai penghianat, musuh dalam selimut yang secara terstruktur merongrong moral ke-SATU BAHASA-an, yaitu INDONESIA, Bahasa Indonesia.

Beberapa cuplikan berikut menunjukkan betapa ’anak sekolah’ seakan memiliki sesuatu yang lebih besar dari jiwa nasionalisme apabila bisa berucap bahasa asing yang nota bene amburadul. Bahkan murid ’kencing terbirit-birit’ karena pengurus sekolah melalui tangan-tangan OPPORTUNIS Komite Sekolah, mengajarkan ’kencing berdiri’ dengan membagakan diri karena fasilitas ’internasional dan bahasa asing yang ke indonesia-indonesia-an.

Bahasa diakui para pemikir ideal sebagai satu alat yang sangat penting dalam komunikasi efektif. Maka seyogianya, sekolah secara aktif menggunakan bahasa ’ibu’ yg lebih akrab, untuk menjalin kebersamaan dan kebersatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu, menempatkan bahasa asing diurutan paling akhir merupakan bukti sekolah sebagai wadah sekunder yang mampu melekatkan ’rasa’ nasionalisme ke Indonesia-an bangsa ini.

Berkata-kata dengan bahasa asing, bukanlah sesuatu yang luar biasa. Di Negara ini sudah sejak lama berdiri dengan beraneka ’bahasa’ yang sebenarnya juga asing bagi masyarakat lain yang tidak menggunakan bahasa daerahnya. Yang menakjubkan, rasa persaudaraan dan kekeluargaan dulu lebih erat dan lebih akrab dibanding penghianatan ’internasioanlisasi’ bahasa yang merasuk bangsa sekarang ini. Ber-bahasa dengan bahasa orang lain tidaklah sesuatu yang ’lebih’

Dulu banyak orang sekolah dan kuliah untuk bisa menguasai bahasa asing, seperti bahasa inggris. Tapi alhasil, ilmu bahasa inggrisnya tidak dipakai lingkungan kerja, alias menganggur. Apa yang dibanggakan MENDIKNAS dengan program studi itu? Bukankah kurikulumnya lebih ’internasional’ dibandong SMP/ SMA yang hanya berlabel ’internasional’ ???????

Asal tau saja, teman saya yang hanya lulusan SMP dari pinggiran DANAU TOBA, hanya 3 tahun bekerja d Australia sebagai Tikang Kebun, pulang2 sudah bisa bahasa inggrsi dengan kualifikasi excellent dan membawa dollar !!!!!!

Pemerintah dan bangsa ini, sadarlah!!!!!!

Seharusnya label2 internasional yang sekarang anda lakukan tidak ada ’apa2’ nya! Bahkan itu merupakan penghianatan terhadap komitmen pemerintah terhadap rakyat, yang menjajikan pelayanan yang lebih atas ’pendidikan’,

setidaknya wajib belajar sembilan tahun!

Siapapun pengurus sekolah, apalagi PNS, anda tidak berhak menagih, mengutif, membuat piutang kepada rakyat dengan alasan apapun! Anda sudah di gaji, tidak cukup gajinya, silahkan mundur, sebab sudah sekian tahun orang lain yang ideal menduduki tempatmu bekerja, bersusah payah melakukan pendidikan dan pengajaran yang ideal. Masih banyak ’guru ideal’ yang siap menggantikan anda2 yaitu mereka yang dulu tidak terlibat KKN!

Semua pihak terkait, para opportunis komite sekolah/ dewan sekolah dan label label lain sadarlah. Sekolah Negeri milik rakyat! Bukan milik anda! Anda tidak berhak menetapkan/ menagih/ memungut apapun dari murid dengan alasan apappun. Mungkin saja fasilitas sekolah tidak semua dibiayai Negara karena kesalahan oknum yang mengalokasikan dana, tetapi anda juga tau, orang pintar bukan karena bukunya mahal, orang tidak pintar karena kursinya dari kayu jati, orang tidak pintar karena ruangannya pakai AC, fasilitas itu pendukung, yang seharusnya dianggarkan dalam belanja negara.

SEKOLAH HARUS BANGGA BAHASA INDONESIA

[http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/08/19450220/Sekolah.Harus.Bangga.Bahasa.Indonesia]

JAKARTA, KOMPAS.com — Maraknya penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah memprihatinkan banyak guru. Pasalnya, sekolah tetap diharapkan menjadi garda terdepan untuk membentuk anak-anak bangsa yang mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar serta membangun kebanggaan dan kecintaan sebagai warga negara Indonesia.

Jajang, Ketua Asosiasi Guru dan Bahasa Sastra Indonesia, yang dihubungi dari Jakarta, Senin (8/11/2010), mengatakan, bangsa ini harus punya sikap untuk mencintai apa yang dimiliki, termasuk bahasa Indonesia yang diakui sebagai bahasa pemersatu di Tanah Air. “Jika kita sekarang menggaungkan pendidikan berkarakter, ya harus jelas bahwa karakter yang dibangun karakter Indonesia. Salah satunya dengan membuat anak-anak muda kita mencintai bahasa Indonesia dan mampu menggunakannya sebagai alat komunikasi untuk memajukan bangsa dalam pengetahuan,” kata Jajang.

Menurut Jajang, di Malaysia, sekolah-sekolah tobat untuk kembali mengajarkan bahasa Melayu kepada anak-anak didik. Di Jepang, penggunaan bahasa Jepang tetap yang utama, dan Negara Matahari Terbit ini nyatanya tetap diperhitungkan di dunia internasional.

“Kita harus yakin dengan berbahasa Indonesia kita tetap bisa berdaya saing global. Tantangan sekarang, bagaimana membuat anak-anak mampu memiliki keterampilan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan fokus pada meningkatkan minat baca dan menulis,” ujar guru SMAN 5 Bandung ini.

Asep Tapip, anggota Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris Kota Bandung, menambahkan, penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, memang penting untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia di era globalisasi. Namun, kebutuhan itu seharusnya tidak begitu saja dimaknai secara sempit dengan harus memakainya sebagai bahasa pengantar resmi di sekolah.

Menurut Asep, pembelajaran bahasa Inggris di sekolah itu yang perlu diperbaiki metodenya atau ditambah jam belajarnya. Bisa juga sekolah membudayakan bahasa Inggris dengan membuat hari tertentu sebagai hari berbahasa Inggris, termasuk juga hari berbahasa daerah.

BAHASA ASING JANGAN JADI BAHASA PENGANTAR

[http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/11/04043110/Bahasa.Asing.Jangan.Jadi.Bahasa.Pengantar]

Bangkok, Kompas – Untuk mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran di sekolah, hindari penggunaan bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Dengan bahasa asing, siswa dikhawatirkan justru akan bingung dan tidak mengerti persoalan atau malah salah pengertian.

Kekhawatiran itu diungkapkan berkali-kali oleh para peserta dan pembicara dalam sesi diskusi konferensi internasional mengenai ”Language, Education, and the Millenium Development Goals (MDGs)”, Rabu (10/11) di Bangkok, Thailand.

Dari berbagai pengalaman yang diceritakan para peserta dan pembicara, mayoritas bahkan menilai, penggunaan bahasa asing yang terlalu dini di taman bermain dan taman kanak-kanak justru akan mengacaukan kemampuan berbahasa anak.

”Di satu sisi, anak tidak fasih bahasa Inggris karena tidak dipakai sehari-hari. Di sisi lain, penggunaan bahasa ibu juga lama-lama menjadi tidak lancar karena di sekolah mulai ditinggalkan,” kata penasihat pendidikan di Save the Children Inggris, Helen Pinnock, seperti dilaporkan wartawan Kompas, Luki Aulia.

Direktur SIL International-LEAD Asia Catherine Young juga khawatir jika siswa tidak mengerti bahasa pengantar yang digunakan di sekolahnya, lambat laun minat dan semangat anak bisa menurun dan berakhir dengan drop out.

Keberhasilan MDGs

Sehari sebelumnya, saat membuka konferensi, Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva mengatakan, ”Ilmu pengetahuan apa pun akan lebih cepat dimengerti siswa jika disampaikan dalam bahasa mereka sendiri.” Apalagi di masyarakat yang tinggal di pedesaan, daerah perbatasan, dan kelompok masyarakat miskin.

Masyarakat pedesaan, daerah perbatasan, dan miskin itulah yang dinilai Abhisit masih tertinggal karena tidak bisa memperoleh informasi atau pengetahuan hanya karena mereka tidak menguasai bahasa nasional ataupun bahasa internasional.

Bahkan, menurut pakar bahasa Inggris dari University of Oxford, Inggris, Suzanne Romaine, masyarakat lokal, terutama kelompok minoritas, akan tergilas roda pembangunan jika mereka masih saja terhambat urusan bahasa. Jika pemerintah mau peduli untuk mempertahankan bahasa ibu, taraf hidup masyarakat dipastikan akan membaik.

”Berikan kebebasan masyarakat untuk menggunakan bahasa mereka sebagai sarana untuk mengembangkan diri sendiri,” kata Romaine.

Jika masyarakat lokal dipaksa untuk menggunakan bahasa selain bahasa ibu, Helen Pinnock khawatir masyarakat takut mencoba hal baru dan akan kian tertinggal.

Bukan ukuran

Helen menilai, tidak ada salahnya mengajarkan bahasa asing di jenjang pendidikan dasar asalkan menjadi salah satu mata pelajaran dan bukan bahasa pengantar. Helen juga mengingatkan, bahasa asing sebagai bahasa pengantar tidak bisa dijadikan ukuran mutu suatu sekolah.

”Yang penting benahi metode pengajaran, cara belajar siswa, dan cara guru mengajar. Kuncinya, buat anak nyaman belajar di sekolah, apakah itu dengan bahasa lokal, nasional, atau asing,” kata Helen.

Dalam lingkup yang lebih luas, Helen mengingatkan pentingnya menentukan arah pendidikan. Sumber daya manusia seperti apa yang diharapkan akan dihasilkan institusi pendidikan untuk menghadapi tantangan masa depan.

”Sangat bergantung pada rencana pembangunan jangka panjang pemerintah. Setelah tahu itu, barulah kurikulum seperti apa yang harus dibuat,” ujarnya.

Pengakuan

Suzanne Romaine mengaku khawatir dengan banyaknya negara yang menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Apalagi jika latar belakang pemikirannya hanya agar bisa diakui memiliki standar internasional.

Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar justru akan berisiko bagi negara-negara yang bahasa utamanya bukan bahasa Inggris. Kondisi belajar-mengajar akan semakin tidak jelas karena masih banyak guru yang tidak mahir berbicara dalam bahasa Inggris, apalagi mengajar dalam bahasa Inggris.

Daripada menggunakan bahasa Inggris, Romaine mengusulkan agar lebih baik menggunakan bahasa lokal, terutama bagi siswa yang tinggal di daerah pedesaan atau daerah terpencil.

”Ajarkan bahasa ibu dulu. Baru seiring dengan itu, sedikit demi sedikit, ajarkan bahasa lain,” kata Romaine.

SEKOLAH JANGAN TINGGALKAN KEINDONESIAAN

Laporan wartawan KOMPAS Ester Lince Napitupulu

JAKARTA, KOMPAS.com – Sekolah mesti mampu menumbuhkan sikap bangga pada ke-Iindonesia-an dalam diri semua siswa. Upaya sekolah ini bukan untuk membuat siswa bersikap antipati pada hal-hal asing, tetapi lebih pada pendidikan untuk membuat generasi muda bangsa tidak kehilangan identitas kekhasannya sebagai anak-anak bangsa Indonesia.

Bangsa ini seharusnya punya optimisme akan mampu sejajar dengan negara-negara lain di dunia dengan sumber daya alam, budaya, dan sosial yang dimiliki. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu merasa rendah diri untuk tetap mengedepankan ke-Indonesia-an di era globalisasi sekarang.

“Jadi, sekolah tidak usah sibuk membuat siswanya jago berbahasa asing, sebut saja bahasa Inggris. Yang mesti difokuskan sekolah adalah membuat anak-anak didik berkarakter dan memiliki disiplin berbahasa yang baik sebagai bekal untuk menguasai ilmu pengetahuan, termasuk juga bahasa asing,” kata E Baskoro Poedjinoegroho, Pembina Kolese Kanisius di Jakarta, Kamis (11/11/2010) kemarin.

Baskoro menyatakan, sekolah dan masyarakat telah menanamkan paradigma yang keliru bagi generasi muda dengan menempatkan hal-hal yang berasal dari luar negeri, khususnya dunia barat, sebagai tanda kemajuan dan internasional. Sementara itu, nilai-nilai ke-Indonesia-an, yang salah satunya bangga berbahasa Indonesia, semakin luntur.

“Anak-anak sekarang merasa lebih keren kalau jago ngomong bahasa Inggris. Sementara kemampuan berbahasa indonesia justru dipelajari alakadarnya. Bahkan, banyak siswa yang merasa tidak senang dengan pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Ini kan aneh. Tetapi lingkungan sekeliling mereka juga memang lebih menghargai yang berbau asing daripada yang khas Indonesia,” jelas Baskoro.

BAHASA ASING DI RSBI TIDAK EFEKTIF

Jumat, 12 November 2010 | 04:06 WIB

[http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/12/04063954/Bahasa.Asing.di.RSBI.Tidak.Efektif]

Bangkok, Kompas – Bahasa asing sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah yang berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional di Indonesia berjalan tidak efektif. Ini disebabkan tidak ada standar pengajaran yang jelas sehingga metode pengajaran bahasa asing setiap guru berbeda.

Hal itu dikemukakan Head of English Development British Council Danny Whitehead yang memaparkan hasil penelitian Stephen Bax dari University of Bedfordshire, Inggris, di konferensi internasional ”Language, Education, and Millenium Development Goals (MDGs)”, Kamis (11/11) di Bangkok, Thailand.

”Setiap guru di satu sekolah yang sama bisa saja metode pengajaran dengan bahasa Inggrisnya berbeda-beda. Ini disebabkan tidak ada panduan dan standar pengajaran yang jelas,” ungkap Whitehead.

Hasil penelitian itu juga menyebutkan, penggunaan bahasa asing tidak efektif karena jumlah guru yang memiliki kemampuan mengajar dalam bahasa Inggris kurang dari 25 persen. Mayoritas guru hanya sekadar bisa berbicara dalam bahasa Inggris.

”Mahir bicara dalam bahasa Inggris dan mampu mengajar dalam bahasa Inggris jelas dua hal yang berbeda. Guru harus dilatih secara khusus untuk bisa mengajar dengan bahasa Inggris,” kata Whitehead.

Tak harus RSBI

Untuk meningkatkan mutu pendidikan, kata Whitehead, tidak perlu melalui pendirian rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Justru akan lebih efektif jika pemerintah memusatkan perhatian pada metode dan proses pengajaran, baik di RSBI maupun non-RSBI. Bahkan, RSBI sebenarnya bisa mengembangkan kurikulumnya sendiri dengan tetap berdasarkan kurikulum nasional dan tidak perlu mengambil mentah-mentah dari negara lain. ”Jangan justru mendahulukan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh,” kata Whitehead.

Hal senada diutarakan konsultan pendidikan di British Council Indonesia, Hywel Coleman. Ia mengaku khawatir RSBI justru menciptakan diskriminasi pendidikan yang semakin lebar. Apalagi kurikulum RSBI sebagian diambil dari sekolah luar negeri.

”Biaya pendidikan di RSBI sebenarnya bisa murah jika kurikulum yang digunakan kurikulum buatan sendiri,” kata Coleman.

Ia khawatir akan banyak anak yang tidak bisa menikmati pendidikan berkualitas baik, seperti di Pakistan dan Thailand.

Karena sudah telanjur harus ada sesuai undang-undang, Whitehead dan Coleman menyarankan agar pemerintah mengawasi dan mengevaluasi RSBI, terutama efektivitas dalam pengajaran menggunakan bahasa Inggris.

”Sampai saat ini belum ada evaluasi menyeluruh dari pemerintah tentang RSBI,” kata Whitehead. (LUK)

Simaklah dan fikirkan ….

Siapa berani memperdebatkan ini…………………………………..?

Siapa Perduli …………………………………………?

Tentang alenmarlis

i am as education curriculum developers team
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar